Minggu, 27 April 2014

Pentingnya kepulauan Bangka Belitung di Melayu



PEREKONOMIAN KESULTANAN PALEMBANG DAN KEPULAUAN BANGKA BELITUNG MASA PENDUDUKAN VERENIGDE OOST-INDISCHE COMPAGNIE (VOC)
Nama              : Rigo Firmanto
Nim                  : 06121004008
Dosen               : Dr. Farida M.Si
Mata kuliah    : Sejarah Perekonomian
PROGRAM STUDI SEJARAH
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PEREKONOMIAN HINDIA BELANDA MASA PENDUDUKAN VOC
Daya tarik Indonesia akan sumber daya alam dan rempah-rempah membuat bangsa-bangsa Eropa berbondong-bondong datang untuk menguasai Indonesia. Sebelum merdeka setidaknya ada 4 negara yang pernah menjajah Indonesia, diantaranya adalah Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Pada masa penjajahan Portugis, perekonomian Indonesia tidak banyak mengalami perubahan dikarenakan waktu Portugis menjajah tidaklah lama disebabkan kekalahannya oleh Belanda untuk menguasai Indonesia, sehingga belum banyak yang dapat diberlakukan kebijakan.
Dalam masa penjajahan Belanda selama 350 tahun Belanda melakukan berbagai perubahan kebijakan dalam hal ekonomi, salah satunya dengan dibentuknya Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Belanda memberikan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda dengan tujuan menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC milik Inggris.
Persatuan kongsi tersebut dari pemerintah Belanda memperoleh berbagai hak seperti boleh bertindak atas nama pemerintah Belanda dengan segala kekuasaan seolah-olah bagaikan suatu pemerintahan  yang berdaulat penuh atas daerah-daerah yang dapat dikuasai antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaen. Dalam hubungan ini V.O.C selaku kongsi dagang besar sudah tentu akan menjalankan hak perniagaan tunggalnya (monopoli) di Indonesia yang tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya persaingan. Adapun langkah-langkah untuk mencoba mempertahankan hak dagang tunggal itu antara lain;

1. harus dapat mengusir orang-orang Portugis dari perairan Indonesia
2.harus dapat menguasai raja-raja di Indonesia agar bisa menguasai perekonomiannya

VOC dibentuk dengan Tujuan:
1.      Menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda.
2.      Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan bangsa Eropa lainnya,                                                                                    seperti Portugis dan Spanyol.
3.      Memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

VOC mempunyai hak-hak istimewa yang diberikan oleh Parlemen Belanda disebut hak Oktrooi. Hak Octrooi tersebut berisi hal-hal sebagai berikut :

• VOC memperoleh hak monopoli perdagangan.
• VOC memperoleh hak untuk mencetak dan mengeluarkan uang sendiri.
• VOC dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia.
• VOC berhak mengadakan perjanjian.
• VOC berhak memaklumkan perang dengan Negara lain.
• VOC berhak menjalankan kekuasaan kehakiman.
• VOC berhak mengadakan pemungutan pajak.
• VOC berhak memiliki angkatan Perang sendiri.
• VOC berhak mengadakan pemerintahan sendiri.

Disamping hak istimewa, VOC juga mempunyai kewajiban khusus terhadap pemerintah Belanda. VOC wajib melaporkan hasil keuntungan dagangnya kepada Parlemen Belanda. VOC juga wajib membantu pemerintah Belanda dalam menghadapi berbagai perangan.

keberadaan VOC menjadi momok menakutkan serta ancaman bagi penguasa lokal. Di antaranya penguasa Banten dan Mataram. Kasultanan Banten kemudian dipaksa tunduk di bawah VOC. Dalam menundukkan Banten, selain menggunakan kekuatan militer, VOC juga menjalankan strategi “pelumpuhan penyangga ekonomi” kasultanan Banten. Dalam laporan penulis bangsa kulit putih, disebutkan banyak orang Tionghoa di Banten sebagai pedagang dan memberikan andil besar sebagai pemasok pajak bagi kasultanan Banten. Sedang warga pribumi banyak dijadikan budak. Dengan blokade perdagangan, penarikan pedagang Tionghoa ke Batavia (melalui bujukan mendapat upah hingga dengan penculikan paksa), serta ikut mengintervensi konflik internal kasultanan Banten (konflik Sultan Ageng Tirtoyoso dengan Sultan Haji tahun 1683), hegemoni Kasultanan Banten akhirnya runtuh.
Perlawanan juga datang dari rakyat  Maluku yang tam au tunduk kepada monopoli rempah oleh VOC, walaupun awalnya mereka menerima kedatangan Belanda dengan baik karena ingin mengusir Portugis yang telah lama bercokol di tanah Maluku, namun perlawan yang diberikan seperti tanpa arti bagi VOC yang tetap kokoh bercokol di Maluku.
Hal yang perlu diketahui mengapa VOC bisa dengan mudah menguasai perekonomian antarpulau di Nusantara adalah karena mereka telah dipersenjatai dengan peralatan yang lengkap serta dengan kapal dengan muatan yang besar, sehingga bisa dengan mudah menyingkirkan para pedagang Cina yang awalnya merupakan penguasa perniagaan disini.

PEREKONOMIAN KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DAN KESULTANAN PALEMBANG PADA MASA VOC

 Indonesia merupakan produsen timah terbesar di dunia, dimana merupakan ”The Indonesian Tin Belt” yang tersebar di wilayah Pulau Karimun, Kundur, Singkep dan sebagian di daratan Sumatera, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau sampai Sebelah Barat Kalimantan (PT. Timah Tbk, 2011).  Sabuk timah ini sebenarnya juga lebih luas lagi yakni meliputi semenanjung Malaya hingga ke bagian tanah genting Kra di Thailand selatan.
belum dapat dipastikan kapan pertama kali penambangan timah di Pulau Bangka mulai dilakukan. (Erwiza Erman, 2009)  meperkirakan bahwa kegiatan penambangan telah dilakukan sejak masa kejayaan Kerajaan Maritim Sriwijaya. Namun dari Historiografi tradisional, Carita Bangka, diketahui bahwa Sultan Palembang, selaku penguasa atas Pulau Bangka memulai penambangan timah pada sekitar tahun 1710. Penetapan tahun ini mungkin sekali dikaitkan dengan Orang-orang Cina yang mulai didatangkan oleh Sultan Palembang dari Batavia dan Malaka untuk menambang timah di Pulau tersebut pada awal abad XVIII. Keterangan dari Historiografi tradisional ini agaknya didukung oleh laporan-laporan Belanda, bahwa pada tahun 1711 telah terdapat orang-orang Cina dan Melayu yang menambang timah di Pulau Bangka.
Pada tahun 1717 M, mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan timah. Sangat mungkin sekali bahwa penduduk Pulau Bangka telah memulai kegiatan menambang timah sebelum kedatangan orang-orang Cina. Ini mungkin berkaitan dengan panambangan timah yang telah dahulu dilakukan di Semanjung Melayu pada abad XV. Mengingat letak dari Pulau Bangka yang dekat dengan Semenanjung Melayu, mungkin sekali penambangan dikenal masyarakat Bangka dari Semenanjung Melayu. Namun kegiatan penambangan ini tampaknya masih berorientasi ekonomi subtensi serta teknologi yang mereka gunakan dalam menambang timah masih sangat sederhana, yakni dengan cara mendulang. Oleh karena itu, kegiatan penambangan timah sebelum kedatangan Orang-orang Cina umumnya kurang berkembang, sehingga produksi timah kurang maksimal. Orang-orang Cina yang diadatangkan oleh Sultan ke Pulau Bangka, membawa teknologi penambangan timah yang lebih canggih dan terpadu dari yang diterapkan oleh penduduk Bangka.
Sultan Palembang selaku penguasa atas Pulau Bangka berupaya untuk mendapatkan timah secara maksimal dari penduduk Bangka. Sultan dengan kekuasaan yang ia miliki menetapkan kepada seluruh laki-laki dewasa Bangka yang ingin menikah harus terlebih dahulu menyerahkan timah seberat 10 kg kepadanya. Peraturan semacam ini dikenal dengan nama timah tiban. Dengan peraturan ini Sultan Palembang mendapatkan keuntungan berlipat, baik secara politis maupun ekonomis. Secara ekonomis, timah yang diserahkan sebesar 10 kg oleh penduduk Bangka tentu dapat dijual oleh sultan di pasaran. Sedangkan secara politis, Sultan memperoleh implementasi dari kepatuhan penduduk Bangka.
            Keputusan Sultan Palembang untuk mendatangkan para penambang Cina agaknya disebabkan oleh reputasi orang Cina yang dikenal sebagai penambang timah yang baik dan tangguh. Orang-orang Cina dianggap mempunyai pengalaman yang mempuni dalam hal menambang timah. Seperti yang kita ketahui bahwa di Cina Selatan juga dilintasi oleh Lajur Timah Asia. Mereka agaknya telah memulai kegiatan penambangannya timah lebih awal daripada wilayah Asia lainnya. Orang-orang Cina membawa teknologi yang mereka kuasai dari negeri asal mereka ke wilayah-wilayah lain penghasil timah di Asia, seperti di Selatan Thailand, Semananjung Malaya dan juga di Pulau Bangka
            Penambangan timah di Pulau Bangka dapat dikatakan terbuka bagi siapa saja, asalkan telah mendapatkan izin sebelumnya. Sultan tidak pernah melarang penduduk Bangka, Arab, Cina, dan yang lainnya untuk menambang timah di Pulau Bangka. Meskipun nantinya VOC telah memonopoli perdagangan timah Sultan Palembang tetap terbuka terhadap kegiatan penambangan timah. Hanya saja, para penambang tidak bisa menjual timahnya dengan bebas. Timah yang mereka hasilkan harus diserahkan kepada Sultan untuk kemudian dijual kepada VOC sebagai satu-satunya saluran perdagangan yang legal.

Meningkatnya perdagangan timah pada abad XVII-XVIII, agaknya bersamaan dengan mulai memudarnya pamor lada sebagai primadona perdagangan internasional.  Lesunya perdagangan lada ini disebabkan over produksi lada yang berimplikasi pada menurunnya harga lada di pasaran Eropa. Kesultanan Palembang, Sebagai salah satu daerah penghasil lada, sejak abad XVII-XVIII secara perlahan mulai memalingkan orientasi ekonomi mereka kepada produk baru, yakni timah yang mulai mendapat tempat strategis di pasar Asia.
            Permintaan timah yang terus naik, tentu juga menarik perhatian VOC. Badan usaha dagang milik Belanda ini, sejak awal kedatanganya memang berniat mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kegiatan perdagangan di Asia dengan politik monopolitis. Pada abad XVII, VOC telah berusaha untuk memonopoli perdagangan timah di Perak, Malaysia, namun nampaknya usaha ini kurang memuaskan sebab hanya sedikit saja timah yang diserahkan. Pada saat VOC telah berhasil menguasai bandar paling penting di Selat Malaka (1641), mereka berharap dapat menguasai perdagangan timah dari timur pesisir Sumatera ( Kota Rane, Kabon, Giti, dan Tandon yang terletak di antara Sungai Siak dan Sungai Rokan), namun usaha ini juga tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.
            Tahun 1717 agaknya menjadi tahun yang cukup penting bagi kepentingan perdagangan timah VOC dan juga Kesultanan Palembang berikut daerah bawahannya, yakni Pulau Bangka. Tahun 1717 merupakan tahun awal perdagangan  timah Pulau Bangka dengan VOC. Sebelum tahun ini pun sebenaranya VOC dan Palembang telah mengadakan  hubungan  perdagangan lada, bahkan mereka juga telah memiliki perjanjian dagang yang dibuat pada 1642.  Namun untuk perdagangan timah, tampaknya VOC harus memulai dari awal lagi untuk mendapatkan perjanjian dagang sesuai dengan keinginan. VOC baru memiliki celah untuk mengadakan kesepakatan dagang dengan Kesultanan Palembang setelah terjadi konflik internal di lingkungan istana mengenai suksesi tahta yang terjadi setelah meninggalnya Sultan Abdul Rahman pada 1706 yang berakhir setelah bertahtanya Sultan Mahmud Baddaruddin (1724-1757).
            Sebuah kesepakatan dagang timah Bangka dibuat antara VOC dengan Sultan Palembang pada 1727. Dalam kesepakatan ini Sultan Palembang harus menyerahkan semua timah yang dihasilkan di Pulau Bangka kepada VOC dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga yang ada di pasaran; VOC juga berhak mendirikan lojinya di Palembang dan hanya kapal VOC yang berhak keluar masuk ke perairan Palembang kapan saja mereka inginkan; dan setiap tahun akan diutus delegasi dari Kesultanan Palembang untuk mengirimkan timah ke Batavia.  Dalam perjanjian perdagangan ini nampak dengan jelas politik perdagangan VOC yang monopolistik. Dan Sultan Palembang telah menyepakati bahwa hanya penjualan timah kepada VOC yang menjadi satu-satunya perdagangan timah yang legal di Pulau Bangka.
            Dalam kesepakatan dagang yang monopolitis itu, kerugian terbesar ditanggung oleh para penambang. Dengan sistem monopoli itu, Sultan Palembang berperan sebagai pedagang perantara antara penambang timah Pulau Bangka dengan VOC. Dengan penetapan harga yang rendah, yang bisa berbeda 5 sampai 10 real per pikul dari harga pasar bebas, tentu Sultan membeli timah dari para manejer tambang dengan lebih rendah, dan begitu pula manajer tambang yang akan membeli timah dari penambang dengan harga lebih rendah lagi. 
            Dan keuntungan yang cukup besar berada di kantong VOC dan juga Sultan Palembang. VOC membawa hasil keuntungannya ke Batavia, dan mereka juga telah mampu mengganti bentuk fisik benteng yang dahulunya terbuat dai kayu menjadi beton. Sedangkan Sultan Palembang, dalam beberapa catatan historiografi tradisional, menerangkan dalam keadaan Sejahtera dan Kaya, dan juga kesaksian H.M Court yang mengatakan bahwa Sultan Palembang merupakn sultan terkaya di timur.
            Sistem perdagangan yang tidak adil tersebut pada perkembanganya menimbulkan gejala yang meluas, yakni penyelundupan. Pertimbangan yang rasional dari para penyelundup ialah bahwa akan lebih menguntungkan bila timah yang dihasilkan dijual di pasar bebas dengan harga yang jauh lebih tinggi, daripada dijual kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Selain itu, letak geografis Pulau Bangka yang dikelilingi banyak pulau kecil serta  berdekatan dengan Riau, Lingga, dan Singapura sangat mendukung untuk mempermudah penyelundupan.
            Lingga menjadi pasar gelap bagi timah-timah selundupan dari Bangka yang akan dipasarkan ke Kanton, Cina. Kapal-kapal yang membawa timah selundupan akan berlayar ke Lingga untuk menunggu jung-jung Cina ataupun Inggris yang siap membeli timah dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh VOC. Selain melalui Lingga, penyelundupan juga dapat dilakukan melalui Riau. Timah-timah dari Bangka terlebih dahulu dibawa ke Riau untuk kemudian diselundupkan ke Singapura.
            Jaringan perdagangan timah illegal ini didukung oleh banyak pihak. Mulai Pedagang Cina, Inggris, Pedagang Arab, Melayu, Bugis, Buton, Bajak Laut, dan bahkan sultan sekali pun turut ambil bagian dalam bisnis “gelap” ini. Para pedagang yang memiliki modal dan moda transportasi, akan membeli langsung timah dari para penambang di wilayah timur perairan Bangka yang sepi. Setelah itu mereka membawanya melalui kapal-kapal menuju Lingga ataupun Riau. Mungkin sekali bahwa para penyelundup ini juga melibatkan bajak laut dalam pelayaran menuju Lingga maupun Riau untuk menjaga keamanan, dan sangat mungkin bahwa bajak-bajak laut ini telah memiliki persenjataan yang didapatkan dari Inggris melalui perdagangan timah. Senjata ini mereka gunakan untuk melakukan perlawanan apabila sewaktu-waktu mereka bertemu dengan kapal patroli VOC di sekitar perairan Bangka.
            Sedangkan Sultan Palembang sendiri, meskipun telah mendapat keuntungan dari perdagangan legal dengan VOC, tetapi tampaknya ini masih belum cukup baginya. Di satu sisi, Sultan tidak ingin merusak kerjasama dengan VOC, tapi di sisi lain Sultan juga tidak ingin melepaskan kesempatan mendapatkan keutungan yang lebih besar dari bisnis timah di pasar gelap. Bangsawan Palembang juga turut serta dalam penyelundupan. Dengan kapal kecil mereka membawa timah selundupan ke pasar gelap. Sultan diduga ikut memiliki saham dalam perdagangan timah gelap ini. Dan diperkirakan bahwa kekayaan Sultan Palembang bertambah banyak dengan berpartisipasi dalam perdagangan ini
            Meningkatnya intensitas penyelundupan ini tentu merupakan suatu kerugian bagi VOC. Penyelundupan mengakibatkan menurunya kuantitas timah yang diserahkan oleh Sultan Palembang. Jumlah timah yang diselundupkan justru jauh lebih banyak dari jumlah yang diserahkan kepada VOC. 
            VOC yang mendapati dirinya sedang dalam keadaan yang kurang menguntungkan, berusaha untuk melakukan tindakan preventif. VOC sepertinya sadar bahwa penyelundupan yang marak terjadi diakibatkan oleh penetapan harga timah yang sangat rendah. Oleh karena itu, mereka memperbaiki kontrak dagang dengan Sultan Palembang pada tahun 1791. Dalam kesepakatan baru ini, terdapat kenaikan dalam harga timah yang ditawarkan VOC, namun tetap saja harga yang berada di pasar bebas lebih besar. Selain itu, VOC juga memperketat pengawasan di sekitar perairan Bangka, namun  sepertinya para penyelundup lebih lihai dari VOC, sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk perairan Bangka dengan sangat baik, hingga acap kali lolos dari pengawasan VOC. Kesungguhan VOC ini nampaknya tidak cukup efektif untuk mencegah penyelundupan timah. Hingga masa akhir kejatuhan VOC pada akhir abad XVIII, masalah penyelundupan merupakan masalah yang tidak dapat terselesaikan. Bahkan hingga zaman sekarang, hal ini juga dikarenakan perairan Bangka Belitung yang terbuka dan menghadap langsung ke wilayah Singapura dan Malaysia. 


















  
 Daftar Pustaka

    Erman, Erwiza. 1995. Kesenjangan Buruh Majikan. Pengusaha, Koeli, dan Penguasa:  Industri Timah Belitung, 1852-1940. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan

Erman. Erwiza. 2009. Dari Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar