PEREKONOMIAN KESULTANAN PALEMBANG
DAN KEPULAUAN BANGKA BELITUNG MASA PENDUDUKAN VERENIGDE OOST-INDISCHE COMPAGNIE (VOC)
Nama : Rigo Firmanto
Nim : 06121004008
Dosen : Dr. Farida M.Si
Mata kuliah : Sejarah Perekonomian
PROGRAM
STUDI SEJARAH
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
PEREKONOMIAN HINDIA BELANDA
MASA PENDUDUKAN VOC
Daya
tarik Indonesia akan sumber daya alam dan rempah-rempah membuat bangsa-bangsa
Eropa berbondong-bondong datang untuk menguasai Indonesia. Sebelum merdeka
setidaknya ada 4 negara yang pernah menjajah Indonesia, diantaranya adalah
Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Pada
masa penjajahan Portugis, perekonomian Indonesia tidak banyak mengalami
perubahan dikarenakan waktu Portugis menjajah tidaklah lama disebabkan
kekalahannya oleh Belanda untuk menguasai Indonesia, sehingga belum banyak yang
dapat diberlakukan kebijakan.
Dalam
masa penjajahan Belanda selama 350 tahun Belanda melakukan berbagai perubahan
kebijakan dalam hal ekonomi, salah satunya dengan dibentuknya Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC). Belanda memberikan wewenang untuk mengatur
Hindia Belanda dengan tujuan menghindari persaingan antar sesama pedagang
Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC milik
Inggris.
Persatuan
kongsi tersebut dari pemerintah Belanda memperoleh berbagai hak seperti boleh
bertindak atas nama pemerintah Belanda dengan segala kekuasaan seolah-olah
bagaikan suatu pemerintahan yang berdaulat penuh atas daerah-daerah yang
dapat dikuasai antara Tanjung Harapan dan Selat Magelhaen. Dalam hubungan ini
V.O.C selaku kongsi dagang besar sudah tentu akan menjalankan hak perniagaan
tunggalnya (monopoli) di Indonesia yang tak lain dimaksudkan untuk mencegah timbulnya persaingan.
Adapun langkah-langkah untuk mencoba mempertahankan hak dagang tunggal itu antara lain;
1. harus dapat
mengusir orang-orang Portugis dari perairan Indonesia
2.harus dapat
menguasai raja-raja di Indonesia
agar bisa menguasai perekonomiannya
VOC dibentuk dengan Tujuan:
1.
Menghindari
persaingan antar sesama pedagang Belanda.
2.
Memperkuat
posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan bangsa Eropa lainnya, seperti
Portugis dan Spanyol.
3.
Memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya.
VOC mempunyai hak-hak istimewa
yang diberikan oleh Parlemen Belanda disebut hak Oktrooi. Hak Octrooi tersebut
berisi hal-hal sebagai berikut :
• VOC memperoleh hak monopoli perdagangan.
• VOC memperoleh hak untuk
mencetak dan mengeluarkan uang sendiri.
• VOC dianggap sebagai wakil
pemerintah Belanda di Asia.
• VOC berhak mengadakan
perjanjian.
• VOC berhak memaklumkan
perang dengan Negara lain.
• VOC berhak menjalankan
kekuasaan kehakiman.
• VOC berhak mengadakan pemungutan
pajak.
• VOC berhak memiliki angkatan
Perang sendiri.
• VOC berhak mengadakan
pemerintahan sendiri.
Disamping hak istimewa, VOC
juga mempunyai kewajiban khusus terhadap pemerintah Belanda. VOC wajib
melaporkan hasil keuntungan dagangnya kepada Parlemen Belanda. VOC juga wajib
membantu pemerintah Belanda dalam menghadapi berbagai perangan.
keberadaan VOC
menjadi momok menakutkan serta ancaman bagi penguasa lokal. Di antaranya
penguasa Banten dan Mataram. Kasultanan
Banten kemudian dipaksa tunduk di bawah VOC. Dalam menundukkan Banten, selain
menggunakan kekuatan militer, VOC juga menjalankan strategi “pelumpuhan
penyangga ekonomi” kasultanan Banten. Dalam laporan penulis bangsa kulit putih,
disebutkan banyak orang Tionghoa di Banten sebagai pedagang dan memberikan
andil besar sebagai pemasok pajak bagi kasultanan Banten. Sedang warga pribumi
banyak dijadikan budak. Dengan blokade perdagangan, penarikan pedagang Tionghoa
ke Batavia (melalui bujukan mendapat upah hingga dengan penculikan paksa),
serta ikut mengintervensi konflik internal kasultanan Banten (konflik Sultan
Ageng Tirtoyoso dengan Sultan Haji tahun 1683), hegemoni Kasultanan Banten
akhirnya runtuh.
Perlawanan juga
datang dari rakyat Maluku yang tam au
tunduk kepada monopoli rempah oleh VOC, walaupun awalnya mereka menerima
kedatangan Belanda dengan baik karena ingin mengusir Portugis yang telah lama
bercokol di tanah Maluku, namun perlawan yang diberikan seperti tanpa arti bagi
VOC yang tetap kokoh bercokol di Maluku.
Hal yang perlu
diketahui mengapa VOC bisa dengan mudah menguasai perekonomian antarpulau di
Nusantara adalah karena mereka telah dipersenjatai dengan peralatan yang
lengkap serta dengan kapal dengan muatan yang besar, sehingga bisa dengan mudah
menyingkirkan para pedagang Cina yang awalnya merupakan penguasa perniagaan disini.
PEREKONOMIAN
KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DAN KESULTANAN PALEMBANG PADA MASA VOC
Indonesia merupakan produsen timah
terbesar di dunia, dimana merupakan ”The Indonesian Tin Belt” yang
tersebar di wilayah Pulau Karimun, Kundur, Singkep dan sebagian di daratan
Sumatera, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau sampai Sebelah Barat
Kalimantan (PT. Timah Tbk, 2011). Sabuk
timah ini sebenarnya juga lebih luas lagi yakni meliputi semenanjung Malaya
hingga ke bagian tanah genting Kra di Thailand selatan.
belum dapat dipastikan kapan pertama
kali penambangan timah di Pulau Bangka mulai dilakukan. (Erwiza Erman, 2009) meperkirakan bahwa kegiatan penambangan telah
dilakukan sejak masa kejayaan Kerajaan Maritim Sriwijaya. Namun dari
Historiografi tradisional, Carita Bangka, diketahui bahwa Sultan
Palembang, selaku penguasa atas Pulau Bangka memulai penambangan timah pada
sekitar tahun 1710. Penetapan tahun ini mungkin sekali dikaitkan dengan
Orang-orang Cina yang mulai didatangkan oleh Sultan Palembang dari Batavia dan
Malaka untuk menambang timah di Pulau tersebut pada awal abad XVIII. Keterangan
dari Historiografi tradisional ini agaknya didukung oleh laporan-laporan
Belanda, bahwa pada tahun 1711 telah terdapat orang-orang Cina dan Melayu yang
menambang timah di Pulau Bangka.
Pada
tahun 1717 M, mulai diadakan perhubungan dagang dengan VOC untuk penjualan
timah. Sangat mungkin sekali bahwa penduduk
Pulau Bangka telah memulai kegiatan menambang timah sebelum kedatangan
orang-orang Cina. Ini mungkin berkaitan dengan panambangan timah yang telah
dahulu dilakukan di Semanjung Melayu pada abad XV. Mengingat letak dari Pulau
Bangka yang dekat dengan Semenanjung Melayu, mungkin sekali penambangan dikenal
masyarakat Bangka dari Semenanjung Melayu. Namun kegiatan penambangan ini
tampaknya masih berorientasi ekonomi subtensi serta teknologi yang mereka
gunakan dalam menambang timah masih sangat sederhana, yakni dengan cara
mendulang. Oleh karena itu, kegiatan penambangan timah sebelum kedatangan
Orang-orang Cina umumnya kurang berkembang, sehingga produksi timah kurang
maksimal. Orang-orang Cina yang diadatangkan oleh Sultan ke Pulau Bangka, membawa
teknologi penambangan timah yang lebih canggih dan terpadu dari yang diterapkan
oleh penduduk Bangka.
Sultan
Palembang selaku penguasa atas Pulau Bangka berupaya untuk mendapatkan timah
secara maksimal dari penduduk Bangka. Sultan dengan kekuasaan yang ia miliki
menetapkan kepada seluruh laki-laki dewasa Bangka yang ingin menikah harus
terlebih dahulu menyerahkan timah seberat 10 kg kepadanya. Peraturan semacam
ini dikenal dengan nama timah tiban. Dengan peraturan ini Sultan
Palembang mendapatkan keuntungan berlipat, baik secara politis maupun ekonomis.
Secara ekonomis, timah yang diserahkan sebesar 10 kg oleh penduduk Bangka tentu
dapat dijual oleh sultan di pasaran. Sedangkan secara politis, Sultan
memperoleh implementasi dari kepatuhan penduduk Bangka.
Keputusan Sultan Palembang untuk mendatangkan para penambang Cina agaknya
disebabkan oleh reputasi orang Cina yang dikenal sebagai penambang timah yang
baik dan tangguh. Orang-orang Cina dianggap mempunyai pengalaman yang mempuni
dalam hal menambang timah. Seperti yang kita ketahui bahwa di Cina Selatan juga
dilintasi oleh Lajur Timah Asia. Mereka agaknya telah memulai kegiatan
penambangannya timah lebih awal daripada wilayah Asia lainnya. Orang-orang Cina
membawa teknologi yang mereka kuasai dari negeri asal mereka ke wilayah-wilayah
lain penghasil timah di Asia, seperti di Selatan Thailand, Semananjung Malaya
dan juga di Pulau Bangka
Penambangan timah di Pulau Bangka dapat dikatakan terbuka bagi siapa saja,
asalkan telah mendapatkan izin sebelumnya. Sultan tidak pernah melarang
penduduk Bangka, Arab, Cina, dan yang lainnya untuk menambang timah di Pulau
Bangka. Meskipun nantinya VOC telah memonopoli perdagangan timah Sultan
Palembang tetap terbuka terhadap kegiatan penambangan timah. Hanya saja, para
penambang tidak bisa menjual timahnya dengan bebas. Timah yang mereka hasilkan
harus diserahkan kepada Sultan untuk kemudian dijual kepada VOC sebagai
satu-satunya saluran perdagangan yang legal.
Meningkatnya
perdagangan timah pada abad XVII-XVIII, agaknya bersamaan dengan mulai
memudarnya pamor lada sebagai primadona perdagangan internasional.
Lesunya perdagangan lada ini disebabkan over produksi lada yang
berimplikasi pada menurunnya harga lada di pasaran Eropa. Kesultanan Palembang,
Sebagai salah satu daerah penghasil lada, sejak abad XVII-XVIII secara perlahan
mulai memalingkan orientasi ekonomi mereka kepada produk baru, yakni timah yang
mulai mendapat tempat strategis di pasar Asia.
Permintaan timah yang terus naik, tentu juga menarik perhatian VOC. Badan usaha
dagang milik Belanda ini, sejak awal kedatanganya memang berniat mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kegiatan perdagangan di Asia dengan
politik monopolitis. Pada abad XVII, VOC telah berusaha untuk memonopoli
perdagangan timah di Perak, Malaysia, namun nampaknya usaha ini kurang
memuaskan sebab hanya sedikit saja timah yang diserahkan. Pada saat VOC telah
berhasil menguasai bandar paling penting di Selat Malaka (1641), mereka
berharap dapat menguasai perdagangan timah dari timur pesisir Sumatera ( Kota
Rane, Kabon, Giti, dan Tandon yang terletak di antara Sungai Siak dan Sungai
Rokan), namun usaha ini juga tidak mendatangkan hasil yang diharapkan.
Tahun 1717 agaknya menjadi tahun yang cukup penting bagi kepentingan
perdagangan timah VOC dan juga Kesultanan Palembang berikut daerah bawahannya,
yakni Pulau Bangka. Tahun 1717 merupakan tahun awal perdagangan timah
Pulau Bangka dengan VOC. Sebelum tahun ini pun sebenaranya VOC dan Palembang
telah mengadakan hubungan perdagangan lada, bahkan mereka juga
telah memiliki perjanjian dagang yang dibuat pada 1642. Namun untuk
perdagangan timah, tampaknya VOC harus memulai dari awal lagi untuk mendapatkan
perjanjian dagang sesuai dengan keinginan. VOC baru memiliki celah untuk
mengadakan kesepakatan dagang dengan Kesultanan Palembang setelah terjadi
konflik internal di lingkungan istana mengenai suksesi tahta yang terjadi
setelah meninggalnya Sultan Abdul Rahman pada 1706 yang berakhir setelah bertahtanya
Sultan Mahmud Baddaruddin (1724-1757).
Sebuah kesepakatan dagang timah Bangka dibuat antara VOC dengan Sultan
Palembang pada 1727. Dalam kesepakatan ini Sultan Palembang harus menyerahkan
semua timah yang dihasilkan di Pulau Bangka kepada VOC dengan harga yang jauh
lebih rendah dari harga yang ada di pasaran; VOC juga berhak mendirikan lojinya
di Palembang dan hanya kapal VOC yang berhak keluar masuk ke perairan Palembang
kapan saja mereka inginkan; dan setiap tahun akan diutus delegasi dari
Kesultanan Palembang untuk mengirimkan timah ke Batavia. Dalam perjanjian
perdagangan ini nampak dengan jelas politik perdagangan VOC yang monopolistik.
Dan Sultan Palembang telah menyepakati bahwa hanya penjualan timah kepada VOC
yang menjadi satu-satunya perdagangan timah yang legal di Pulau Bangka.
Dalam kesepakatan dagang yang monopolitis itu, kerugian terbesar ditanggung
oleh para penambang. Dengan sistem monopoli itu, Sultan Palembang berperan
sebagai pedagang perantara antara penambang timah Pulau Bangka dengan VOC.
Dengan penetapan harga yang rendah, yang bisa berbeda 5 sampai 10 real per
pikul dari harga pasar bebas, tentu Sultan membeli timah dari para manejer
tambang dengan lebih rendah, dan begitu pula manajer tambang yang akan membeli
timah dari penambang dengan harga lebih rendah lagi.
Dan keuntungan yang cukup besar berada di kantong VOC dan juga Sultan
Palembang. VOC membawa hasil keuntungannya ke Batavia, dan mereka juga telah
mampu mengganti bentuk fisik benteng yang dahulunya terbuat dai kayu menjadi
beton. Sedangkan Sultan Palembang, dalam beberapa catatan historiografi
tradisional, menerangkan dalam keadaan Sejahtera dan Kaya, dan juga kesaksian
H.M Court yang mengatakan bahwa Sultan Palembang merupakn sultan terkaya di
timur.
Sistem perdagangan yang tidak adil tersebut pada perkembanganya menimbulkan
gejala yang meluas, yakni penyelundupan. Pertimbangan yang rasional dari para
penyelundup ialah bahwa akan lebih menguntungkan bila timah yang dihasilkan
dijual di pasar bebas dengan harga yang jauh lebih tinggi, daripada dijual
kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Selain itu, letak geografis Pulau
Bangka yang dikelilingi banyak pulau kecil serta berdekatan dengan Riau,
Lingga, dan Singapura sangat mendukung untuk mempermudah penyelundupan.
Lingga menjadi pasar gelap bagi timah-timah selundupan dari Bangka yang akan
dipasarkan ke Kanton, Cina. Kapal-kapal yang membawa timah selundupan akan
berlayar ke Lingga untuk menunggu jung-jung Cina ataupun Inggris yang siap
membeli timah dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ditawarkan oleh
VOC. Selain melalui Lingga, penyelundupan juga dapat dilakukan melalui Riau.
Timah-timah dari Bangka terlebih dahulu dibawa ke Riau untuk kemudian
diselundupkan ke Singapura.
Jaringan perdagangan timah illegal ini didukung oleh banyak pihak. Mulai
Pedagang Cina, Inggris, Pedagang Arab, Melayu, Bugis, Buton, Bajak Laut, dan
bahkan sultan sekali pun turut ambil bagian dalam bisnis “gelap” ini. Para
pedagang yang memiliki modal dan moda transportasi, akan membeli langsung timah
dari para penambang di wilayah timur perairan Bangka yang sepi. Setelah itu
mereka membawanya melalui kapal-kapal menuju Lingga ataupun Riau. Mungkin
sekali bahwa para penyelundup ini juga melibatkan bajak laut dalam pelayaran
menuju Lingga maupun Riau untuk menjaga keamanan, dan sangat mungkin bahwa
bajak-bajak laut ini telah memiliki persenjataan yang didapatkan dari Inggris
melalui perdagangan timah. Senjata ini mereka gunakan untuk melakukan
perlawanan apabila sewaktu-waktu mereka bertemu dengan kapal patroli VOC di
sekitar perairan Bangka.
Sedangkan Sultan Palembang sendiri, meskipun telah mendapat keuntungan dari
perdagangan legal dengan VOC, tetapi tampaknya ini masih belum cukup baginya.
Di satu sisi, Sultan tidak ingin merusak kerjasama dengan VOC, tapi di sisi
lain Sultan juga tidak ingin melepaskan kesempatan mendapatkan keutungan yang
lebih besar dari bisnis timah di pasar gelap. Bangsawan Palembang juga turut
serta dalam penyelundupan. Dengan kapal kecil mereka membawa timah selundupan
ke pasar gelap. Sultan diduga ikut memiliki saham dalam perdagangan timah gelap
ini. Dan diperkirakan bahwa kekayaan Sultan Palembang bertambah banyak dengan berpartisipasi
dalam perdagangan ini
Meningkatnya intensitas penyelundupan ini tentu merupakan suatu kerugian bagi
VOC. Penyelundupan mengakibatkan menurunya kuantitas timah yang diserahkan oleh
Sultan Palembang. Jumlah timah yang diselundupkan justru jauh lebih banyak dari
jumlah yang diserahkan kepada VOC.
VOC yang mendapati dirinya sedang dalam keadaan yang kurang menguntungkan,
berusaha untuk melakukan tindakan preventif. VOC sepertinya sadar bahwa
penyelundupan yang marak terjadi diakibatkan oleh penetapan harga timah yang
sangat rendah. Oleh karena itu, mereka memperbaiki kontrak dagang dengan Sultan
Palembang pada tahun 1791. Dalam kesepakatan baru ini, terdapat kenaikan dalam
harga timah yang ditawarkan VOC, namun tetap saja harga yang berada di pasar
bebas lebih besar. Selain itu, VOC juga memperketat pengawasan di sekitar
perairan Bangka, namun sepertinya para penyelundup lebih lihai dari VOC,
sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk perairan Bangka dengan sangat baik,
hingga acap kali lolos dari pengawasan VOC. Kesungguhan VOC ini nampaknya tidak
cukup efektif untuk mencegah penyelundupan timah. Hingga masa akhir kejatuhan
VOC pada akhir abad XVIII, masalah penyelundupan merupakan masalah yang tidak
dapat terselesaikan. Bahkan hingga zaman sekarang, hal ini juga
dikarenakan perairan Bangka Belitung yang terbuka dan menghadap langsung ke
wilayah Singapura dan Malaysia.
Daftar
Pustaka
Erman,
Erwiza. 1995. Kesenjangan Buruh Majikan. Pengusaha, Koeli, dan
Penguasa: Industri Timah Belitung, 1852-1940. Jakarta. Pustaka Sinar
Harapan
Erman. Erwiza. 2009. Dari
Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap: Menguak Sejarah Timah Bangka Belitung.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar