Perkembangan
Sarekat Islam Masa Pergerakan Nasional
BAB I
PENDAHULUAN
Kegiatan perpolitikan di Indonesia mulai terdengar gaungnya
sejak awal abad ke-20, ditandai dengan berdirinya organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 dan Sarekat Islam pada tahun 1912, yang
semula bernama Sarekat Dagang Islam
yang didirikan pada tahun 1905. Pembentukan organisasi-organisasi betapapun
terbatas jangkauannya, namun mampu menciptakan kesempatan bagi munculnya rasa
solidaritas dan interaksi antar-kaum terpelajar. Organisasi tersebut mampu
menjadi wadah bagi terciptanya hubungan sosial baru yang berfungsi sebagai
tumpuan identitas, sosial, budaya hingga kemauan politik kolektif.
Organisasi Sarekat Islam yang didirikan pada tahun 1912 ini
menawarkan alternatif lain yang lebih menarik dari yang ditawarkan oleh BO
(Boedi Oetomo). Dengan menonjolkan agama Islam sebagai ciri khasnya, organisasi
ini mampu menjangkau rakyat yang tidak puas dengan keberadaan BO ataupun bagi
mereka yang tidak dapat menjangkau BO, karena hanya mengedepankan upaya
mencapai tata kehidupan baru yang lebih baik lagi bagi kehidupan
sosial-kultural masyarakat Jawa, di mana anggota organisasi ini mayoritas dari
kalangan priyayi Jawa dan Madura saja yang juga merupakan pelajar STOVIA.
Karena keterbatasan masyarakat luas dalam menjangkau BO,
maka Sarekat Islam muncul sebagai organisasi yang mampu menjangkau masyarakat
luas di seluruh pelosok Nusantara melalui karakternya yang agamis. Pada
perkembangan selanjutnya, massa yang besar di seluruh pelosok Nusantara,
mendorong tumbuhnya cabang-cabang SI di berbagai daerah, seperti SI Semarang,
SI Yogyakarta, SI Surakarta serta SI Surabaya dan tidak lupa dibentuk pula
semacam SI pusat atau CSI dengan struktur modern dengan pemimpinnya yang
terkenal seperti Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis. Untuk mengetahui lebih detail
tentang sejarah terbentuk dan berkembangnya organisasi Sarekat Islam yang
sangat terkenal ini, akan kami jelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1. Sejarah
Berdirinya Sarekat Islam
Seperti yang telah dipaparkan pada pendahuluan di atas
Sarekat Islam adalah sebuah organisasi yang berdiri di awal abad ke-20,
tepatnya pada tahun 1912. Mulanya organissai ini berama Sarekat Dagang Islam
yang didirikan oleh Haji Samanhudi
dengan tujuan awalnya adalah untuk membantu dan menyelamatkan para pengusaha
batik pribumi dari para pedagang tionghoa saat itu yang memonopoli perdagangan
batik pribumi. Sejak semula organisasi ini memang didirikan dengan diarahkan
khusus bagi kepentingan rakyat jelata. Berikut beberapa alasan lainnya yang
mendorong berdirinya organisasi Sarekat Islam (SI):
ü kemajuan gerak langkah penyebaran agama Kristen
ü hinaan parlemen Negeri Belanda tentang tipisnya
kepercayaan beragama bangsa Indonesia
Menurut Deliar Noer, ada dua alasan organisasi ini berdiri,
pertama kompetisi tinggi pada bidang perdagangan batik, terutama dengan
golongan Cina dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang pribumi
sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Hal ini sebagai
akibat dari digantinya tekstil pribumi dengan bahan-bahan yang diimpor dan
dibeli oleh para pembatik dari pedagang perantara Cina, maka seluruh industri
batik beralih ke tangan orang Cina. Untuk mempertahankan diri terhadap
praktek-praktek orang Cina, para pedagang batik Jawa akhirnya bersatu pada
tahun 1911 dan mendirikan SI, hal ini dikemukakan oleh Van Niel.
Meskipun demikian ada beberapa fakta yang menyangkal, pertama
konstatasi bahwa orang Cina telah mengeluarkan para pengusaha batik Jawa,
setidaknya di Surakarta tidaklah benar. Memang ada tapi hanya sebagian kecil
dan itu juga di daerah Kudus, Lasem, dan Banyumas. Kedua, orang Cina
menguasai perdagangan dalam bahan baku cat sudah ada jauh sejak tahun 1890-an.
Jadi, peralihan bahan baku dari cat alami ke cat kimiawi pada abad ini hampir
tidak membawa perubahan. Ketiga, dalam kerajinan batik Solo yang
dilakukan pada tahun 1920-an pada umumnya terjalin hubungan yang baik antara
bahan baku orang Cina dan produsen orang Indonesia.
Karena visi utamanya berkaitan dengan perlawanan menghadapi
para pedagang tionghoa, maka lahirlah sikap permusuhan rakyat terhadap bangsa
Tionghoa. Berbagai perkelahian sering terjadi, yang mengakibatkan rasa khawatir
di dalam pemerintahan kolonial. Permusuhan yang sering terjadi membuat
pemerintah bersikap represif terhadap Sarekat Dagang Islam yang berada di
Surakarta. Tindakan tersebut mengakibatkan pada tanggal 12 Agustus 1912, SDI
diskors selama 4 hari oleh residen Surakarta tidak boleh menerima anggota baru
dan mengadakan rapat-rapat.
Keputusan pengubahan nama dari Sarekat Dagang Islam menjadi
Sarekat Islam berdasarkan pada keinginan memperluas perkumpulan, tidak hanya
lagi berorientasi pada kegiatan perdagangan, namun telah merambah berbagai
bidang kehidupan yang tujuan
pendiriannya tetap sama, yaitu mencapai kemajuan rakyat yang nyata
dengan jalan persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara kaum
Muslimin semuanya. Satu hal yang menjadi sangatpenting adalah di mana anggota
dari Sarekat Islam ini TIDAK boleh berasal dari kalangan pegawai negeri atau
pejabat pemeritahan kolonial Hindia-Belanda.
Tujuan Anggaran Dasar SI lebih jelasnya dapat dilihat
sebagai berikut:
·
Memajukan
pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran
·
Memajukan
hidup menurut perintah agama dan menghilangkan faham-faham keliru tentang Islam
·
Mempertebal
rasa persaudaraan dan saling tolong-menolong di antara anggotanya.
Meskipun Sarekat Islam didirikan sebagai organisasi modern,
lengkap dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, namun persepsi
masyarakat mengenai SI sering berbeda sekali dengan yang dimaksud oleh para
pimpinan, SI lebih sering dianggap sebagai lambang dari identitas golongan.
Untuk mengatur rakyat Indonesia ke arah emansipasi dalam menghadapai sistem
kolonial dengan segala ketimpangannya, SI berurusan dengan berbagai kelompok
dan golongan sosial dan subkultur. Kalau di kota orientasi tujuan
pembangunnanya sudah bersifat realistik, apa yang terjadi di pedesaan bersifat
kebalikannya, lebih kepada aspek religius.
Dapat dilihat dari upaya menegakkan moralitas agama,
mengusahakan kesejahteraan serta meningkatkan kedudukan dan peranan sosial
ekonomi, sekaligus bersamaan dengan penggalangan kesadaran sosial rakyat. Di
kalangan SI, kesadaran sosial tidak terpisah dari kesadaran religius. Keduanya
saling memperkuat, sehingga sensitivitas meningkat dalam menghadapi
masalah-masalah melalui kompetisi dengan para pengusaha asing, diskriminasi
menurut garis warna dan proses dekadensi moral.
Pada perkembangannya perluasan perkumpulan ini terwujud
dalam pengadaan pembukaan cabang di berbagai daerah dengan minimal anggotanya
terdiri dari 50 orang. Namun di pihak lain, pemerintah Hindia-Belanda kurang
sependapat bila diadakan perluasan, pemerintah ingin perkumpulan SI hanya ada
di Surakarta saja karena tidak ingin sampai menjalar ke pelosok Nusantara.
Usaha tersebut mengalami kegagalan, terbukti pada 10 September 1912 berhasil
disusun peraturan baru di daerah Surabaya, bahwa pembukaan cabang-cabang baru
akan mungkin tetap berlanjut dengan Haji Samanhudi menjadi Ketua Pengurus Besar dan H.O.S Tjokroaminoto sebagai
komisarisnya.
Penetapan Anggaran Dasar juga dilakukan dengan tujuan
memajukan semangat dagang bangsa Indonesia, memajukan kecerdasan rakyat dan
hidup menurut perintah agama serta menghilangkan faham-faham yang keliru
tentang agama Islam. Pada masa itu dalam penetapan Anggaran Dasar tidak
disertakan tujuan politik, karena pendirian organisasi yang bersifat politik
sangat dilarang dan membahayakan.
Gubernur Idenburg secara hati-hati mendukung organisasi ini,
baru pada tahun 1913 SI diakui oleh pemerintah kolonial secara resmi. Namun
tetap saja, ia tidak akan mengakui Central Sarekat Islam sebagai markas besar
SI yang mengendalikan segala kegiatan yang bersifat nasional. Akibatnya, CSI
semakin sulit melakukan pengawasan yang terorganisir terhadap cabang-cabang SI
yang berada di daerah.
2. 2. Sarekat
Islam dan Perkembangannya
Pada perkembangan selanjutnya tumbuhlah cabang-cabang SI di
berbagai daerah, seperti SI Semarang, SI Yogyakarta, SI Surakarta serta SI
Surabaya dan tidak lupa dibentuk pula semacam SI pusat atau CSI dengan struktur
modern. Salah satu faktor berkembangnya SI secara pesat dengan memiliki basis
massa yang besar adalah karena diperbolehkannya kartu keanggotaan rangkap.
Akibatnya, mayoritas anggota SI merupakan anggota dari organisasi lain, seperti
ISDV, PKI, ataupun serikat-serikat kerja/buruh.
Walaupun perkembangan SI sampai ke luar Jawa, namun tetap
mempertahankan Jawa sebagai pusat kegiatannya. Pemerintah kolonial semakin
tidak senang melihat kekuatan SI yang semakin besar dilihat dari jumlah
massanya saat itu, melebihi massa dari organisasi-organisasi lainnya. Walaupun
para pengikut Sarekat Islam begitu banyak, tetapi tidak semuanya mempunyai
pengertian dan pemahaman atas tujuan dan kegiatan organisasi tersebut, sehingga
terjadi berbagai penyimpangan yang mengatasnamakan organisasi Sarekat Islam.
Di beberapa tempat yang menjadi cabang Sarekat Islam timbul
berbagai gerakan anti-Cina, dikarenakan golongan Tionghoa dianggap sebagai
penghalang usaha ekonomi pribumi. Daerah tersebut antara lain: Sala, Bangil,
Tuban, Rembang, Cirebon, Tuban, Kudus (1918). Hal itu juga diperkuat karena
adanya perbedaan agama. Di Batavia saat itu juga banyak terjadi bentrokan yang
mengatasnamakan Sarekat Islam dengan para pengusaha pelacuran dan perjudian.
Bukanlah suatu kebetulan bahwa insiden itu bersifat lokal
dan berumur pendek. Hal tersebut dikarenakan oleh kenyataan bahwa cabang-cabang
Sarekat Islam di daerah tadi berdiri sendiri atau otonom, yang menyebabkan
pimpinan pusat Sarekat Islam (CSI) tak berdaya. Sikap berani para SI daerah
tersebut juga memancing pemerintah kolonial untuk mengeluarkan peraturan baru
yang menetapkan bahwa cabang-cabang harus berdiri sendiri untuk daerahnya
masing-masing (SI daerah).
Namun pemerintah tetap tidak berkeberatan bila antar SI
daerah saling bekerja sama melalui badan-badan perwakilan. Hal ini dilakukan
guna menghindari adanya kepemimpinan pusat di tubuh SI yang dapat mengorganisir
SI di daerah-daerah untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
Hingga tahun 1915 saja telah berdiri lebih dari 50 cabang Sarekat Islam di
daerah, dan untuk menyikapi hal tersebut di Surabaya didirikanlah Central Sarekat Islam (CSI) dengan
tujuan untuk memajukan dan membantu SI daerah dalam mengadakan perhubungan dan
pekerjaan bersama di antaranya.
Dengan jumlah massa yang banyak, mendorong
organisasi-organisasi lainnya untuk melirik dan mendapat pengaruh dalam tubuh
SI. Sebut saja seperti ISDV (Indisch
Sociaal Democratische Vereniging), NIP
(National Indische Partij). ISDV di bawah Sneevliet, P. Bergsma, J. A. Braadsteder dan H. W. Dekker yang sebenarnya berhaluan
radikal, secara mengejutkan mampu melakukan penyusupan atau propaganda secara
halus dalam tubuh SI. Mereka berhasil masuk menyebarkan pengaruhnya pada
anggota-anggota SI, sebut saja seperti Semaoen (wakil SI Surabaya dan pemimpin
SI Semarang), Darsono, H. Misbach, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo dan Marco
(SI Surakarta) yang berhasil menentang tokoh-tokoh SI yang tulen dan kolot.
Marco awalnya adalah seorang jurnalistik yang keras
mengkritik pemerintahan kolonial Hindia-Belanda. Ia berkali-kali dikenakan pressdelict
karena berita-berita yang dituliskannya. Sewaktu ditahan di penjara, Marco
mendapatkan tekanan kuat dari pengurus SI, ia tidak mendapatkan dukungan penuh.
Justru ia dibela oleh Sneevliet dan inilah awal mula Marco terjun dalan haluan
sosialis di dalam SI. Marco yang sempat mundur dari pentas pergerakan dan lebih
memilih melanjutkan serta fokus dalam kegiatan jurnalistiknya, akhirnya
memutuskan untuk kembali ke Surakarta karena hidup baginya adalah “pergerakan
dan pengorbanan”. Kaum sosialis tersebut datang ke Indonesia, karena melihat
bangsa ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat melakukan
gerakan-gerakan massa melawan pemerintah Hindia-Belanda.
Hal ini dilatarbelakangi oleh perpecahan yang terjadi pada
kaum sosialis Belanda yang melahirkan kubu revisionis dan kubu ortodoks
revolusioner. Seperti yang dituliskan oleh Munasichin berikut:
Kubu
revisionis tetap bertahan dan mengembangkan partai sosialis sebelum-nya Sociaal
Democratische Arbeiders Partij (SDAP) yang lebih moderat. Se-dangkan
kelompok ortodoks mendirikan partai baru yang kemudian dikenal dengan nama Sociaal
Democratische Partij (SDP). SDP dikenal sebagai partai berhaluan Marxisme
ortodoks, yang mengembangkan perjuangan revolusioner daripada perjuangan
parlementer, seperti yang dilakukan oleh SDAP.
Pada tahun 1914 Sneevliet dan kawan-kawan berhasil
mendirikan organisasi ISDV yang kental dengan haluan Marxisme-nya. Setelah
berhasil mendirikan organisasi tersebut, Sneevliet berusaha mencetak
tokoh-tokoh sosialis pribumi yang sangat berpengaruh pada masa awal kebangkitan
nasional, terutama yang mampu menggerakkan rakyat dalam melakukan perlawanan
terhadap segala kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menyengsarakan
mereka. Hasil cetakan ISDV tersebut seperti Semaoen, Darsono dan Marco tak lain
adalah anggota SI daerah.
Pada tahun 1916 sampai tahun 1921 SI mulai memliki struktur
organisasi yang stabil. SI memberikan perhatian pada hampir semua masalah,
mulai dari masalah politik sampai dengan masalah agama. Selain itu juga untuk
menyebarkan dan menegakkan cita-cita nasionalisme dengan Islam sebagai dasar
pemikirannya. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam Asas dan Program kerja yang disetujui oleh kongres yang diadakan pada tahun
1917. Program kerja dibagi atas 8 bagian, yaitu:
1. Masalah politik, Sarekat Islam menuntut berdirinya
dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk
mentransformasikannya menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk
keperluan legislatif. Hak-hak politik ini dapat berfungsi dengan wajar, Sarekat
Islam menuntut penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk bepergian.
2. Dalam bidang pendidikan, partai menuntut penghapusan
peraturan yang mendiskriminasikan penerimaan murid di sekolah-sekolah. Mnuntut
adanya penambahan jumlah sekolah, memasukkakan pelajaran keterampilan,
perbaikan lembaga-lembaga pendidikan.
3. Dalam bidang agama, partai menuntut
dihapuskannya segala bentuk undang-undang dan peraturan yang menghambat
penyebaarluasan ajaran agama Islam, pembayaran gaji kyai dan penghulu, subsidi
bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam dan pengakuan hari-hari besar Islam.
4. Keadilan merupakan persoalan yang
dipermasalahkan antara pihak pemerintah dan yang diperintah dalam suatu negeri
jajahan. Sarekat Islam menuntut dalam hal ini pemisahan kekuasaan yudikatif dan
eksekutif, dan menganggap perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan
hak-hak yang sama diantara golongan penduduk negeri. Selain itu juga menuntut
kemudahan bagi penduduk yang miskin untuk memperoleh perlindungan hukum.
5. Dalam bidang agrarian dan pertanian, menuntut
penghapusan particuliere landrijen (milik tuan tanah), dan dengan
mengadakan ekspansi serta perbaikan irigasi.
6. Dalam bidang industry, menuntut agar industry-industri
yang sangat penting agar dinasionalisasikan industry-industri yang bersifat
monopoli dan memenuhi pelayanan dan barang-barang pokok bagi rakyat banyak.
7. Dalam bidang keuangan dan perpajakan, partai menuntut
adanya pajak-pajak berdasarkan proposianal serta pajak-pajak yang dipungut
terhadap laba perkebunan. Partaipun menuntut adanya bantuan pemerintah bagi
perkumpulan koperasi.
8. Dalam bidang sosial, partai menuntut
hendaknya pemerintah memerangi minuman keras dan candu, perjudian dan
prostitusi, melarang penggunaan tenaga anak-anak, mengeluarkan peraturan
perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja serta menambah jumlah
poliklinik secara gratis.
2. 3.
Kongres-Kongres Sarekat Islam
Kongres Pertama Sarekat Islam diadakan pada 26
Januari 1913 di Surabaya. Kongres tersebut dipimpin oleh Tjokroaminoto yang
menjelaskan dengan tegas bahwa SI bukanlah partai politik dan tidak memiliki
maksud serta tujuan untuk melakukan perlawanan pada pemerintah Hindia-Belanda.
Kongres pertama ini berhasil menyedot kemauan dan minat rakyat untuk masuk
menjadi anggota SI, dengan Islam sebagai lambang persatuannya dan tujuan untuk
mempertinggi derajat dan martabat rakyat. Akibatnya di beberapa tempat di Pulau
Jawa mulai berdiri cabang-cabang SI, contohnya saja di daerah Jakarta SI telah
memiliki anggota sebanyak 12.000 orang.
Kongres Kedua diadakan di Surakarta (Solo
sekarang) dengan hasil keputusannya adalah SI hanya akan menerima keanggotaan
rakyat yang berkebangsaan Indonesia saja (rakyat pribumi saja). Tujuannya
adalah agar corak dan karakteristik SI sebagai organisasi rakyat tidak akan
berubah. Kongres Ketiga (17-24
Juni 1916) diadakan di Bandung. Kongres ini merupakan Kongres Nasional SI yang Pertama
dengan peserta sebanyak 360.000 orang sebagai perwakilan dari 80 SI daerah yang
total anggotanya mecapai 800.000 orang. Kongres ini dipimpin oleh Tjokroaminoto
dengan harapan agar SI dapat menuju ke arah persatuan yang teguh antar-golongan
bangsa Indonesia.
Kongres Nasional SI Kedua pada 20-27 Oktober 1917 di Jakarta,
di mana CSI semakin memperlihatkan semangat politiknya, dengan merumuskan
perjuangan pergerakan politiknya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan
Belanda dan para kapitalis dengan membentuk pemerintahan sendiri atau
Zelf-Bestuur dan mengubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat yang
sosialistis. Sejak saat itu mulai terjadi pergolakan-pergolakan politik dalam
tubuh SI yang sebenarnya merupakan bom waktu yang telah tertanam sejak ISDV
memainkan perannya dalam tubuh SI melalui orang-orang kepercayaannyadan
mulailah SI mengarah atau bergeser ke haluan kiri.
Kongres Nasional SI Ketiga adalah pada 29 September-6 Oktober
1918 di Surabaya dengan hasil keputusannya adalah menentang segala kebijakan
pemerintah yang tetap melindungi praktik kapitalisme yang berdampak pada aksi
penindasan kaum buruh. Kongres Nasional
SI Keempat pada 26 Oktober-2 November 1919 di Surabaya memfokuskan
tentang serikat kerja yang bertujuan melakukan gerakan perlawanan menentang
kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat.
Kongres SI, Oktober 1921 mengambil keputusan gerakan
Disiplin Partai dengan mengeluarkan anggota PKI. Kongres SI Merah, 24-25 Desember
1921 di Semarang, dan dipimpin oleh Tan Malaka dan wakilnya adalah
Semaoen, sementara Darsono merapatkan hubungan dengan poros Moskow dan pergi ke
sana pada Oktober 1921. Dalam kongres ini mereka berterus terang menyatakan
dirinya sebagai KOMUNIS dengan mengakui pemimpin-pemimpin Komunis Uni Soviet
seperti Trotsky dan Lenin sebagai pahlawan mereka. Yang dihadiri oleh
Kongres SI Putih, 17-20 Februari
1923 di Madiun, menghasilkan keputusan
pembentukan partai SI. Langkah yang sulit untuk membangun kembali citra SI
dengan Pan-Islamisme nya, oleh karena itu Agus Salim memohon bantuan pada
Muhammadiyah. Sedangkan Kongres SI
Merah, 4 Maret 1923 yang bertempat di Bandung yang dihadiri oleh 16
cabang PKI, 14 cabang SI Merah dan perkumpulan serikat kerja komunis. Dalam
kongres mereka menyerang SI Putih dengan tuduhan SI telah terbentuk untuk lebih
mementingkan kaum pemilik modal dan melakukan pemborosan uang rakyat. Dari sini
mulai terjadi kongres-kongres balasan antara SI Putih dan SI Merah yang saling
mempropagandakan dan memperdebatkan pemikiran dan ideologi masing-masing.
Kongres SI, 8-11 Agustus 1924 di Surabaya, mengambil keputusan
non-kooperasi terhadap pemerintah dan Volksraad serta keputusan menentang kaum
komunis secara giat.Kemudian Kongres
CSI 21-27 Agustus 1925 di Yogya bertujuan untuk memerdekakan bangsa
Indonesia dari penindasan dan penjajahan melalui pembukaan sekolah-sekolah guna
mencetak pribadi yang tangguh dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
berdasarkan syariat-syariat Islam. Dan yang terakhir adalah Kongres SI 14-17 Januari 1927 yang
mengeluarkan pernyataan terbuka untuk menuju kemerdekaan kebangsaan yang
berdasarkan agama Islam.
2. 4. Perpecahan
dalam Tubuh Sarekat Islam
SI yang semakin condong ke kiri ini pada gilirannya
menggabungkan dirinya pada Radicale
Concentratie pada 16 November 1918. Dari sini, sikap kontroversial SI
mulai nampak saat terjadi peristiwa Afdeeling B di Garut pada Juni 1919.
Dampaknya Tjokroaminoto pada 1921 ditangkap pemerintah kolonial atas tuduhan
memberikan sumpah palsu atas kasus tersebut. Antara tahun 1918-1921, hubungan
SI terjalin baik dengan PKIdan berhasil memberikan kontribusi penting terhadap
serikat-serikat buruh dalam meningkatkan kondisi dan upah para anggotanya.
Sempat SI dan PKI membentuk semacam federasi pada tahun 1919, namun pemimpin
serikat kerja dari CSI (Surjopranoto) yang menjabat wakil federasi, menggugat
kepemimpinan Semaoen dalam federasi tersebut melalui berbagai pemogokan. Sejak
saat itu, munculah pertikaian terbuka SI dan PKI.
Untuk menyikapi hal tersebut, dilakukanlah gerakan Disiplin Partai dalam Kongres SI pada
bulan Oktober 1921. Hal ini berdampak pada seorang anggota SI tidak mungkin
lagi menjadi anggota partai atau organisasi lain (terkecuali anggota
Muhammadiyah). Selain itupun anggota-anggota PKI yang ada dalam tubuh CSI
dikeluarkan. SI kemudian terpecah menjadi dua, yaitu SI Putih (dengan gerakan
Pan-Islamisme di bawah pimpinan H. Agus Salim serta Abdul Muis dan dukungan
Tjokroaminoto setelah dibebaskan dari penjara pada Mei 1922).
Sedangkan SI Merah berada di bawah pimpinan Semaoen sejak
1922, setelah ia pulang mengasingkan diri ke Uni Soviet dan mulai membangun
kembali serikat-serikat kerja PKI serta meningkatkan pengaruhnya pada
cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Atas inisiatifnya untuk melepaskan diri
selama-lamanya dari PKI, pada Kongres SI bulan Februari 1923 Tjokroaminoto
mendirikan Partai Sarekat Islam
yang mendukung gerakan disiplin partai. Ia pun berusaha mendirikan
cabang-cabang PSI di daerah yang terdapat cabang SI Merah-nya yang kemudian
oleh Semaoen diganti menjadi Sarekat
Rakyat.
Pengaruh Agus Salim dalam CSI menjadikan SI Putih menempuh
kebijakan non-kooperasi (mundur dari keanggotaan Volksraad) dan menjauhkan diri
dari aksi-aksi penting politik. Semenjak itu, PKI-lah yang banyak terlibat
melancarkan kampanye-kampanye pergerakan rakyat yang nyaris padam akibat
konflik terbuka SI dan PKI. Jika ditilik dalam hal agam, SI juga telah terpecah
sejak 1916 di Minangkabau akibat perbedaan doktrin kaum modernis dan kaum
tradisional serta adat. Akibatnya berkembang pesatlah paham komunisme-Islam di
ranah Minang ini. Sedangkan di Jawa perpecahan anggota SI terjadi antara
kalangan modernis dengan kaum adat yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebudayaan pra-Islam atau kebudayaan masa Majapahit.
BAB III
KESIMPULAN
Berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya, Sarekat Islam tidak
terbatas pada satu orientasi tujuan, melainkan mencakup berbagai bidang
aktivitas. Di dalam organisasi ini agama Islam berfungsi sebagai ideologi,
sehingga gerakan tersebut lebih bersifat revivalisme, yaitu semangat kembali pada kepercayaan dengan jiwa
atau semangat yang berkobar-kobar atau dalam kata lain sebuah gerakan
pembaharuan yang bertujuan pada kebangkitan Islam. Semangat religius tadi
menjadikannya sebagai sesuatu yang mempersatukan umat dan hal tersebut dapat
terlihat dalam tersebarnya cabang-cabang Sarekat Islam di berbagai daerah.
Permasalahan yang terjadi di dalam tubuh SI adalah mengapa
SI yang awalnya berhaluan kanan (agamis dan kental akan nuansa Islam) lalu
berkembang ke arah haluan kiri yang menimbulkan perpecahan dalam tubuh
organisasi tersebut. Jika kesimpulan yang ditarik adalah karena orang-orang
berpengaruh dalam SI telah termakan propaganda kaum sosialis kiri seperti
Semaoen, Darsono, Marco dan Sosrokardono, jawabannya adalah terlalu cepat
disimpulkan.
SI menjadi terpecah dan terproses menjadi SI Merah yang kiri
justru tak lain adalah karena faktor dari penjajahan oleh bangsa Belanda itu
sendiri, terlebih dengan kemuculan golongan masyarakat yang baru yang menggeser
posisi masyarakat pribumi di dalam struktur masyarakat. Orang-orang dari bangsa
Tionghoa dan para pengusaha swasta Eropa lainnya yang tergolong kapitalis pun
mendorong SI menjadi terpecah dan terpengaruh hingga memunculkan dua macam atau
dua aliran SI, yaitu SI Putih dan SI Merah. Seberapa jauh suatu organisasi
dapat berubah haluan dari tujuan awalnya menurut kami adalah tergantung pada
situasi dan kondisi saat itu atau lebih tepatnya adalah pada peristiwa penting
yang mengiri perjalanan dan proses perkembangan organisasi itu sendiri. Tidak
hanya dilihat dari segi keberhasilan propaganda yang disusupkan oleh organisasi
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Korver, A. P. E. Van. Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil.
Jakarta: PT. Grafitipers, 1985.
Noer, Deliaar. Gerakan Modern Islam di Indonesia,
1900-1942. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004.
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar